SELAMAT DATANG DI BLOG MARGHARETA

SELAMAT DATANG DI BLOG MARGHARETA

Jumat, 14 Mei 2010

PROPOSAL MENINGKATKAN PEMAHAMAN SISWA DALAM MATERI MENGENAL IDENTITAS DIRI MELALUI METODE BERMAIN PERAN DI KELAS I SD INPRES BULILA KECAMATAN DUHIADAA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah.
Salah satu tujuan program pembinaan Pendidikan Dasar sesuai Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004 adalah meningkatkan kualitas yang memadai yaitu meningkatkan efisiensi dan efektifitas belajar.
Tujuan peningkatan mutu pendidikan terutama meningkatakan kompetensi peserta didik, sehingga bermoral tinggi berkemampuan adaptif dan kompetitif untuk menghadapi perubahan zaman. Oleh karena itu peserta didik perlu memiliki kemampuan metakognitif dan kompetensi untuk berpikir dan belajar sebagaimana dalam lingkungan belajar terpadu antara belajar di sekolah dan belajar di luar sekolah. Selanjutnya peserta didik perlu mampu mengakses, memilih, menilai, pengetahun dan informasi yang diperoleh serta mampu mengatasi situasi yang rumit, mencari solusi terhadap masalah yang tidak dapat dipecahkan dan mampu mengatasi keadaan- keadaan yang terlihat secara kasat mata untuk mengatasi masalah yang ada, maka guru harus dapat menciptakan iklim pembelajaran kea rah yang lebih baik
Pembelajaran pada dasarnya menciptakan suasana agar peserta didik mau belajar subtansi yang mau dipelajari. Keberhasilan siswa dalam mempelajari suatu materi terutama pada mata pelajaran IPS, terletak pada kemampuan guru mengelola, belajar, dan membangun struktur kognitif, efektif dan psikomotor bagi pesrta didik.
Proses belajar mengajar merupakan interaksi antara guru- guru dengan anak didik. Dalam interaksi tersebut guru melakukan kegiatan yang disebut mengajar. Oleh karena itu, keberhasilan pembelajaran khususnya pada mata pelajaran IPS tergantung pada guru untuk memberikan informasi bagaimana semestinya belajar yang efektif.
Keberhasilan pembelajaran yang efektif dalam membaca pidato akan menunjukkan tingkat pamahaman dan penyerapan bahan ajar yang telah diberikan , baik tidaknya hasil belajar dipengruhi oleh efektifitas dan efisiensi guru dalam mengajar. Sebagai peserta didik yang duduk di bangku Sekolah Dasar, khususnya kelas tinggi hendaklah diperhatikan secara maksimal dalam memberikan pembelajaran IPS, karena IPS dianggap sebagai pembelajaran yang membosankan bagi peserta didik. Oleh karena itu, peserta didik perlu mengetahui bagaimana mestinya meningkatkan pemahaman siswa mengenal identitas diri dan keluarga.
Keberhasilan anak didik dalam mencapai sesuatu, harus butuh arahan guru. Guru sebagai fasilitator bisa berikan yang terbaik bagi muridnya. Ketepatan dalam cara belajar siswa merupakan faktor belajar yang penting dalam usaha meningkatkan prestasi belajar siswa khusunya dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Guru perlu menyediakan bahan yang menarik yang dapat menyajikan tantangan bagi siswa untuk giat secara aktif dan kreatif “mengotak- atik” apa yang dihadapinya. Bahan tersebut haruslah sesuai dengan perkembangan emosi dan sosial anak. Anak di kelas permulaan (usia 6- 8 tahun) berada pada fase bermain. Dengan bermain anak akan senang belajar, semakin senang anak semakin banyak yang diperolehnya. Permainan memiliki peranan penting dalam perkembangan kognitif dan sosial anak (Dworetzky, 1990). Karena dalam bermain guru mendukung anak belajar dan mengembangkannya (Wood, 1996).
Kegiatan pembelajaran ini akan mengakibatkan siswa dapat mempelajari sesuatu dengan cara efektif dan efisien. Upaya- upaya yang dilakukan dapat berupa analisis tujuan dan karakteristik studi dan siswa, analisis sumber belajar, menetapkan strategi pengorganisasian, isi pembelajaran, menetapkan strategi penyampaian pembelajaran, menetapkan strategi pengelolaan pembelajaran, dan menetapkan prosedur pengukuran hasil pembelajaran. Oleh karena itu, setiap pengajar harus memiliki keterampilan dalam memilih strategi pembelajaran untuk setiap jenis kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, dengan memilih strategi pembelajaran yang tepat dalam setiap jenis kegiatan pembelajaran, diharapkan pencapaian tujuan belajar dapat terpenuhi. Gilstrap dan Martin (1975) juga menyatakan bahwa peran pengajar lebih erat kaitannya dengan keberhasilan pebelajar, terutama berkenaan dengan kemampuan pengajar dalam menetapkan strategi pembelajaran.
Belajar pada hakikatnya adalah belajar komunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pembelajar dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis (Anonim 1995).
Dalam hal ini guru tidak hanya sekedar melaksanakan apa yang ada dalam kurikulum, melainkan harus dapat menginterpretasi dan mengembangkan materi yang ada dalam kurikulum menjadi bentuk pembelajaran yang menarik. Pembelajaran dapat menarik apabila guru memiliki kreativitas dengan memasukkan aktivitas yang mendororong siswa untuk lebih giat berlatih misalnya dengan bermain peran. Penggunaan bentuk- bentuk permainan dalam pembelajaran akan memberi iklim yang menyenangkan dalam proses belajar, sehingga siswa akan belajar seolah- olah proses belajar siswa dilakukan tanpa adanya keterpaksaan, tetapi justru belajar dengan rasa keharmonisan. Selain itu, dengan bermain siswa dapat berbuat agak santai. Dengan cara santai tersebut, sel- sel otak siswa dapat berkembang akhirnya siswa dapat menyerap informasi, dan memperoleh kesan yang mendalam terhadap materi pelajaran. Materi pelajaran dapat disimpan terus dalam ingatan jangka panjang (Rubin, 1993 dalam Rofi’uddin, 2003).
Permainan dapat menjadi kekuatan yang memberikan konteks pembelajaran dan perkembangan masa kanak- kanak awal. Untuk itu perlu, diperhatikan struktur dan isi kurikulum sehingga guru dapat membangun kerangka pedagogis bagi permainan. Struktur kurikulum terdiri atas : (1) Perencanaan yang mencakup penetapan sasaran dan tujuan, (2) Pengorganisasian, dengan mempertimbangkan ruang, sumber, waktu dan peran orang dewasa, (3)Pelaksanaan, yang mencakup aktivitas dan perencanaan, pembelajaran yang diinginkan, dan (4) assesmen dan evaluasi yang meliputi alur umpan balik pada perencanaan (Wood, 1996: 87).
Salah satu cara untuk memudahkan siswa dalam mengenalkan diri dan keluarga adalah dengan menggunakan metode bermain peran. Untuk memilih dan menentukan jenis permainan dalam pembelajaran mengenal identitas diri, guru perlu mempertimbangkan tujuan pembelajaran, materi pembelajaran dan kondisi siswa maupun sekolah. Dalam tujuan pembelajaran, guru dapat mengembangkan salah satu aspek kognitif, psikomotor atau sosial atau memadukan berbagai aspek tersebut. Guru juga perlu mempertimbangkan materi pembelajaran, karena metode bermain peran cocok untuk materi tertentu, sesuai hasil observasi awal di SD Inpres Bulila Kecamatan Duhiadaa khususnya kelas I dari jumlah siswa 40 orang hanya 40 % nilai mereka yang pemahamannya dapat di kategorikan baik. Sementara 60% pemahaman mereka dapat dikategorikan kurang. Hal ini dapat dilihat dari hanya 16 orang memperoleh nilai 70 keatas, sedangkan 24 orang yang memperoleh nilai dibawah 70. Hal ini disebabkan metode yang digunakan kurang menarik perhatian, karena metode yang digunakan guru monoton ceramah. Selain itu kondisi kelas yang jumlahnya banyak (40 orang) sementara fasilitas pendukung seperti meja dan kursi terbatas. Berdasarkan latar belakang di atas maka ditetapkan judul “Meningkatkan Pemahaman Siswa Dalam Materi Mengenal Identitas diri Melalui Metode Bermain peran Di Kelas I SD Inpres Bulila Kecamatan Duhiadaa Kabupaten Pohuwato “.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan “Apakah dengan metode bermain peran dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang materi mengenal identitas diri pada pembelajaran IPS di kelas I SD Inpres Bulila Kecamatan Duhiadaa kabupaten Pohuwato.

1.3 Cara pemecahan Masalah
Untuk memecahkan permasalahan di atas, diterapkan metode bermain peran dengan langkah- langkah sebagai berikut: 1) Guru menjelaskan tujuan pembelajaran/ KD, 2) Siswa dibagi dalam beberapa kelompok beranggotakan 3- 4 siswa, 3). Guru membimbing siswa dalam kegiatan kelompok, 5) Tiap- tiap kelompok mengikuti arahan dan bimbingan guru, 6) Guru menunjuk salah satu orang pada tiap kelompok untuk mengenalkan identitas diri. Demikian seterusnya sampai seluruh siswa dalam setiap kelompok dapat mengenalkan diri mereka.

1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan pemahaman siswa kelas I SD Inpres Duhiadaa dalam mengenal identitas diri melalui metode bermain peran.

1.5 Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian tindakan kelas ini diharapkan memberi manfaat yang
berarti bagi siswa untuk meningkatkan pemahaman belajar siswa sehingga lebih giat belajar, selain itu manfaat penelitian bagi guru adalah meningkatkan kemampuan guru dalam menguasai metode pembelajaran dan menambah wawasan guru tentang penerapan metode bermain peran guna meningkatkan pemahaman siswa dalam mengenal identitas diri secara tepat. Sedangkan manfaat bagi sekolah adalah meningkatkan mutu kualitas sekolah khususnya pembelajaran IPS serta memberi kontribusi yang lebih baik pada sekolah dalam rangka kemajuan sekolah.


BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN


2.1. Hakikat Pemahaman
2.1.1 Pengertian Pemahaman
Azis Wahab, (2007: 80) mendefinisikan “ Pemahaman adalah kemampuan untuk memahami ide- ide yang di ekspresikan dengan kata- kata atau bunyi atau symbol, serta kemampuan untuk bernalar”. Selanjutnya Bloom (dalam Uzer, 2006: 35) menjelaskan pemahaman mengacu pada kemampuan memahami makna materi. Aspek ini satu tingkat di atas pengetahuan dan merupakan tingkat berpikir yang rendah.
Sanjaya, (2007: 182) mengemukakan bahwa pemahaman adalah kesediaan jiwa yang sifatnya aktif untuk menerima sesuatu dari luar. Pengertian pemahaman tersebut mengandung arti bahwa pemahaman melibatkan unsure batin atau jiwa seseorang yang mencerminkan keinginan untuk melakukan aktivitas.
Dunia guru com/index-php/20 Mey 2009, pemahaman adalah perubahan proses mental internal yang orang gunakan dalam usaha mereka membuat dunia ini dapat dimengerti.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian pemahaman berarti maklum, mengerti dan mengetahui sesuatu melalui aktivitas mental social yang dimiliki individu dalam usaha mereka memahami kehidupan ini secara menyeluruh.


2.1.2 Tahap- Tahap Pemahaman
Sagala (2003: 72) tahap- tahap pemahaman pada diri individu dibagi dalam 4 hal yakni:
a). Tahap Reseptif
Pemahaman reseptif adalah tahap pemahaman dimana penggunaan informasi dalam bentuk apa diterima tanpa mengubah susunan atau artinya. Pemahaman reseptif dapat penuh arti bagi siswa sepanjang tidak didasarkan pada hafalan materi pelajaran tanpa usaha mengerti artinya. Tugas siswa dalam hal ini adalah menginternalisasi materi pelajaran yang telah disiapkan oleh guru dengan baik.
b). Tahap Penemuan
Pemahaman penemuan adalah cara pemahaman dimana siswa harus menemukan apa yang dipelajari dan kemudian mengatur kembali materi yang dipelajari untuk mengintegrasikannya dengan struktur kognitif yang sudah ada. Jadi pemahaman penemuan ini termasuk pemahaman penemuan maka yang dikembangkan berdasarkan psikologi kognitif.
c). Tahap Hafalan
Pemahaman hafalan adalah pemahaman dengan menghafal materi pelajaran tanpa usaha mengetahui artinya. Akibat pemahaman hafalan ini antara lain adalah verbalisme, yaitu tahu kata tapi tidak tahu artinya.
d) Tahap Penuh Arti
Pemahaman penuh arti didefinisikan sebagai pemerolehan arti baru, atau mengandung arti bahwa materi yang dipelajari seperti secara potensi penuh arti bagi siswa. Perolehan arti baru itu menjadi penuh arti terjadi jika materi yang dipelajari berhubungan dengan hal- hal yang telah diketahui siswa.

2.1.3. Aspek- Aspek Pemahaman
Developmentally Appropriate Practice (DAP) adalah suatu kerangka acuan; suatu filosofis atau juga pendekatan mengenai bagaimana pemahaman berinteraksi dan bekerja bersama anak (peserta didik). Pendekatan DAP didasarkan atas akumulasi data atau fakta dan hasil- hasil penelitian yang memerankan tentang apa yang peserta didik sukai. Menurut konsep ini pengejawantahan pengetahuan tentang perkembangan peserta didik atau hal- hal yang berkenaan bagi anak SD ke dalam setiap implikasi praktis pengembangan pengajaran tidaklah diabaikan. Dalam setiap pelaksanaan pengajaran, guru akan selalu dituntut untuk mampu membuat keputusan. Keputusan inilah yang akan menetapkan apakah suatu pengajaran yang ditempuh guru itu telah mempertimbangkan pengetahuan mengenai anak atau belum. Jika keputusan itu benar-benar mengakomodasikan ”siapa anak SD sebenarnya”, maka keputusan tersebut dapat dikatakan telah mendasarkan pada pendekatan DAP. Menyimak pendapat Bredekamp (1987) tentang konsep ”developmental appropriateness” menunjukkan bahwa pendekatan pengajaran yang berorientasi pada perkembangan anak itu mempunyai dua dimensi pemahaman. Pertama adalah dimensi umur (age appropriate) dan yang kedua adalah dimensi individual (individually appropriate). Dengan memahami dimensi umur peserta didik, guru dalam menyelenggarakan pengajarannya tidak akan pernah bisa mengabaikan aspek perkembangan dan pemahaman peserta didik. Misalnya diakui Bredekamp bahwa hasil pendidikan mengenai perkembangan manusia itu memperlihatkan hal yang berlaku umum, yakni adanya perkembangan yang dapat diramalkan mengenai urutan pertumbuhan (growth) dan perubahan (change) yang terjadi terutama selama umur 9 tahun. Perkembangan yang dapat diramalkan itu menyangkut aspek pemahaman, 1). emosional, 2). sosial 3). dan perkembangan kognitif. Pemahaman tentang keunikan perkembangan peserta didik dalam rentang waktu (umur) tersebut selayaknya menjadi acuan atau dasar filosofis setiap pelayanan program pengajaran yang disediakan guru. Guru sepatutnya mampu mempersiapkan dan menyediakan lingkungan belajar dari pengalaman belajar yang benar- benar ”approratee” (layak, pantas, cocok, padan atau tepat) dengan perkembangan anak.
Selanjutnya dengan memahami dimensi individual, guru dalam menyelenggarakan pengajarannya tidak akan pernah mengabaikan keunikan peserta didik. Bukankah mereka itu bersifat khas (unique) atau utuh (individed) baik dari segi pola ataupun waktu perkembangannya sebagaimana mereka itu khas dalam kepribadiannya, gaya belajarnya latar belakang keluarganya. Keunikan sebenarnya memperlihatkan eksistensi perbedaan sekaligus akan menolak perlakuan yang ”mempersamakan” atau menyamaratakan. Pemahaman lebih lanjut atas keunikan peserta didik menyiratkan bahwa demokratisasi dalam pengajaran menjadi sebuah tuntutan. Pelayanan pengajaran yang diindividualisasikan (individually guided education/IGE) juga akan cenderung muncul (trendy) di masa yang akan adatang di Indonesia dan ini tidak boleh dihindari secara sengaja. Kurikulum (bahan ajar apa yang harus dilaksanakan?) dan interaksi yang diciptakan, selayaknya (akan menjadi approriate/ tepat atau mendapat pembenaran), manakala pembelajaran itu benar- benar responsif atas keragaman (individual) peserta didik. Belajar yang merupakan hasil interaksi antara pikiran dan pengalaman dengan bahan gagasan dan orang lain ”haruslah” cocok (mached) dengan dan memang menantang (Challenging) minat dan pemahaman peserta didik. Pemahaman atas perkembangan peserta didik sekaligus dengan keunikannya, dibutuhkan guru dalam mengidentifikasi tentang perilkaku yang cocok (perilaku pada diri anak) sebagai tujuan yang dapat dicapai dalam pengajaran, kegiatan dan pengalaman belajar yang tepat diciptakan, dan bahan pelajaran yang padan bagi kelompok usia tertentu, serta sistem evaluasi yang hendak digunakan. Pemahaman akan dimensi individual yang mengakui adanya keragaman latar belakang keluarga peserta didik, maka DAP dengan sendirinya memandang penting keterlibatan aktif orang tua baik sebagai sumber ataupun pembuat keputusan mengenai ketepatan perlakuan atau pelayanan individual bagi pendidikan anak.

2.2. Hakikat Metode
2.2.1. Pengertian Metode
Metode berasal dari kata Yunani “Meta” dan “Hodos” berarti cara atau rencana untuk melakukan sesuatu. Poerwadarmita (dalam Arindawati, 2004) mengatakan metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik- baik untuk mencapai suatu maksud.
Metode adalah upaya atau strategi yang dilakukan oleh seseorang dalam upaya pencapaian tujuan yang ingin dicapai, Suryo subroto (2002: 12). Metode juga dapat diartikan yakni cara kerja yang ditunjukkan oleh individu berdasarkan tingkat keterampilan yang dimilikinya.
T. Raka Joni, 1993 mengartikan metode sebagai “ cara kerja yang bersifat relative umum yang sesuai untuk mencapai tujuan tertentu “. Dengan demikian metode dapat diartikan sebagai cara/ jalan menyajikan/ melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan.
Metode pembelajaran dapat ditetapkan oleh guru dengan memperhatikan tujuan dan bahan pembelajaran. Pertimbangan pokok dalam menentukan metode terletak pada keefektifan proses pembelajaran. Metode pembelajaran bertujuan memudahkan guru mengajar dan memudahkan siswa memahami bahan pelajaran.
Dalam dunia pengajaran metode adalah rencana penyajian bahan yang menyeluruh dengan urutan yang sistematis berdasarkan approach tertentu. Jadi metode merupakan cara melaksanakan pekerjaan sedangkan approach bersifat filosofis atau sifat aksioma (yaitu kenyataan yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian). Karena itulah dari satu approach pada umumnya dapat tumbuh beberapa metode.
Metode pembelajaran merupakan proses atau prosedur yang hasilnya adalah belajar atau dapat pula merupakan alat melalui makna belajar menjadi aktif. Dan yang lebih penting lagi adalah jika metode dapat dianggap sebagai suatu proses yang memungkinkan terjadinya belajar, maka metode tertentu akan terdiri dari beberapa tahapan. Tahapan- tahapan yang dimaksud pada metode tertentu dapat pula digunakan pada metode mengajar lainnya.
Setiap guru senantiasa dihadapkan pada pertanyaan tentang metode apa yang akan digunakan untuk membantu siswa mempelajari konsep- konsep atau membantu mereka mencapai tujuan- tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. Namun demikian metode atau teknik mengajar hanyalah salah satu komponen penting di dalam keseluruhan interaksi belajar mengajar atau interaksi edukatif. Berkaitan dengan hal itu patut disadari oleh guru bahwa tidak ada satu metode atau teknik mengajar yang baik atau yang cocok untuk semua situasi/ mata pelajaran dalam mengajar. Yang ada adalah bahwa terdapat berbagai metode mengajar yang telah digunakan oleh guru dalam mengajar dan telah memberinya pengalaman. Dengan pengalaman itu dia dapat menggunakan metode- metode mengajart dalam situasi- situasi yang berbeda dengan memperhatikan factor siswa, materi pelajaran yang harus diliput, tujuan pengajaran, dan sarana yang tersedia.
Asumsi- asumsi yang dikemukakan di atas sebagai dasar pertimbangan memilih metode mengajar tentunya merupakan saran dan pendapat sebab yang terpenting bagi seorang guru adalah mengetahui secara tepat dan secara sadar mengapa ia memilih metode mengajar tersebut.
Mengenai hal ini para ahli mencoba mengembangkan berbagai metode dan teknik mengajar atau strategi. Walaupun dengan ungkapannya yang berbeda- beda tentang hal itu namun pada dasarnya yang dimaksud adalah metode dan teknik mengajar.
Beberapa bukti menunjukkan hal itu diantaranya misalnya yang dikemukakan oleh Edgar B. Wesley dan Stanley P. Wronski (1965: 344- 45) mencoba mengelompokkan metode dengan memperhatikan dasar penggunaan metode tersebut. Pengelompokkan yang dimakseud meliputi :
a. Berdasarkan alat yang digunakan,
b. Berdasarka pendekatan kenyataan masyarakat,
c. Berdasarkan pengorganisasian bahan,
d. Berdasarkan tujuan guru,
e. Berdasarkan tujuan siswa,
f. Berdasarkan hubungan guru - siswa,
g. Berdasarkan hubugan siswa- siswa,
h. Berdasarkan tingkat partisipasi siswa,
i. Berdasarkan tingkat kebebasan berfikir,
j. Berdasarkan cara penilaian,
k. Berdasarkan indera pisik,
l. Berdasarkan teori- teori belajar,
m. Berdasarkan tujuan- tujuan pendidikan.
Menurut Wesley dan Wronski (1965) klasifikasi metode- metode mengajar di atas mungkin memiliki nilai- nilai logis dan sugestif. Mengenai teknik- teknik mengajar, hal inipun tidak terdapat kesepakatan di antara para ahli oleh karma hal yang sama digunakan nama yang berbeda.
Ada tiga istilah yang bertautan dengan metode yaitu : pendekatan, metode dan tehnik (menurut Stanley P. Wronski 1965 dalam Mulyati).
a. Pendekatan adalah sejumlah asumsi tentang sesuatu. Pendekatan bersifat ‘aksiomatis’ (yaitu pernyataan yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian).
b. Metode adalah rencana menyeluruh tentang sajian materi bahasa yang tersusun berdasarkan pendekatan yang dipilh. Metode bersifat procedural (yaitu langkah demi langkah secara pasti dalam memecahkan sesuatu problem).
c. Teknik adalah strategi khusus atau alat mencapai tujuan. Teknik harus konsisten dengan metode dan karenanya harus serasi dengan pendekatan yang dipilih. Teknik bersifat ‘implementasional’ (yaitu mencari bentuk tentang sesuatu hal yang disepakati dulu) yang secara aktual berlangsung di kelas.
Dengan demikian metode pembelajaran berarti membicarakan tentang cara atau jalan yang harus dilalui utuk mencapai tujuan. Metode mengajar dalam dunia pendidikan berfungsi sebagai salah satu alat yaitu untuk menyajikan bahan pelajaran dalam rangka pencapaian tujuan pengajaran. Oleh sebaba itu agar tujuan instruksional dapat tercapai, maka dalam menetapkan suatu metode dalam KBM perlu kita selaraskan denga komponen dalam sistem pembelajaran.
Dengan demikian metode dapat diartikan sebagai pendekatan, cara aau teknik menyampaikan materi pelajaran agar mudah diterima dan tujuan pembelajaran dapat tercapai.


2.2.2. Tujuan Memilih Metode
Tujuan pemilihan metode dalam pembelajaran adalah merupakan pemikiran dan pengupayaan secara strategis untuk merumuskan, memilih atau menetapkan aspek- aspek dari komponen pembentukan system instruksional sehingga dapat konsisten antara aspek- aspek tersebut. Disisi lain juga tujuan pemilihan metode merupakan pemikiran dan pengupayaan secara strategis dari seorang guru untuk memodifikasi atau menyelaraskan aspek- aspek pembentuk instruksional.

2.2.3. Tujuan Penerapan Metode
Tujuan penerapan metode adalah :
1). Mengupayakan variasi kegiatan dan susunan pembelajaran dengan menggunakan berbagai strategi/ metode/ teknik dalam pembelajaran, seperti variasi pengorganisasian murid dalam pembelajaran (individual, kelompok berpasangan, kelompok kecil, dan atau klasikal).
2). Menumbuhkan prakarsa murid untuk aktif dan kreatif dalam kegiatan pembelajaran, umpamanya dengan memberi peluang untuk bebas berpendapat, menghargai pendapat orang lain.
3). Mengembangkan berbagai pola interaksi dalam pembelajaran, baik antara guru dan murid, maupun antara murid dan variasi, serta interaksi dengan sumber belajar yang tersedia.
4). Menyediakan dan menggunakan berbagai sumber belajar, baik dan rancangan maupun yang dimanfaatkan.
5). Pemantauan yang intensif dalam kegiatan pembelajaran dan diikuti dengan peberian balikan yang spesifik dan dengan segera.

2.2.4. Jenis- Jenis Metode Pembelajaran
Jenis- jenis metode ini (Mulyati A,dkk 2000) antara lain:
1). Metode Ceramah
Metode Ceramah bermakna (ekspositor), yaitu metode penyampaian informasi oleh seotang pembicara kepada sekelompok pendengar, pada kenyataannya metode ini yang paling banyak digunakan.
Tujuan metode ini adalah menyampaikan materi pengajaran yang bersifat informasi, yaitu konsep, pengertian prinsip- prinsip yang banyak dan luas serta hasil penemuan- penemuan baru yang belum dipublikasikan secara meluas.
2). Metode Demonstrasi
Metode Demonstrasi adalah suatu cara mengajar dengan mempertunjukkan sesuatu atau mendemonstrasikan sesuatu. Metode ini biasanya berkenaan dengan tindakan- tindakan atau prosedur yang dilakukan misalnya proses mengerjakan sesuatu, proses menggunakan sesuatu, membandingkan suatu cara dengan cara lain atau untuk mengetahui/ melihat suatu kebenaran.
Tujuannya adalah mengkongkritkan informasi atau penjelasan kepada siswa, mengembangkan pengamanan pengamatan kepada para siswa secara bersama- sama dan mengerjakan suatu proses atau prosedur yang harus dikuasai oleh siswa.

3). Metode Diskusi
Metode Diskusi adalah suatu cara penguasaan bahanpelajaran melalui tukar pendapat berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah dipelajari oleh siswa.
Metode diskusi juga merupakan sebagai siasat menyampaikan bahwa pelajaran yang melibatkan siswa secara aktif untuk membicarakan dan menemukan alternative pemecahan suatu topik bahasan yang bersifat problematis. Tujuannya adalah memecahkan materi pembelajaran yang berupa masalah atau promlem yang sulit dilakukan oleh siswa secara perorangan.
4). Metode Simulasi.
Metode Simulasi adalah suatu cara peniruan atau perbuatan yang hanya pura- pura saja (dari fakta simulate yang artinya pura- pura atau berbuat seolah- olah; dan simulation artinya tiruan atau perbuatan yang pura- pura saja).
Simulasi juga merupakan suatu usaha pembelajaran untuk memperoleh pemahaman akan hakekat suatu konsep atau prinsip, atau suatu keterampilan tertentu melalui proses kegiatan atau latihan dalam situasi tiruan. Melalui simulasi siswa dapat mampu menghadapi kenyataan yang mungkin terjadi secara lebih efektif dan efisien.
Tujuannya adalah untuk melatih keterampilan tertentu baik yang bersifat professional maupun kehidupan sehari- hari.
5). Metode Tanya Jawab.
Metode Tanya Jawab adalah suatu cara penyajian bahan pelajaran melalui berbagai bentuk pertanyaan yang perlu dijawab oleh siswa. Metode Tanya jawab juga adalah suatu cara mengajar dimana seorang guru mengajukan beberapa pertanyaan kepada peserta didik tentang bahan pelajaran yang telah diajarkan atau bacaan yang telah mereka baca sambil memperhatikan proses berfikir diantara peserta didik. Atau juga metode Tanya jawab adalah pembelajaran yang interaktif yang mengutamakan interaksi dan timbale balik antara guru dan siswa dengan mengolah informasi.
6). Metode Karya Wisata
Metode Karya Wisata adalah cara penguasaan bahan pelajaran dengan jalan membawa siswa langsung pada objek yang terdapat di luar kelas atau di lingkungan di kehidupan nyata, agar mereka dapat mengalami secara langsung.
7). Metode Pemberian Tugas
Metode Pemberian Tugas merupakan metode yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk melaksanakan tugas berdasarkan petunjuk langsug yang telah dipersiapkan guru. Tugas dapat diberikan secara kelompok atau perorangan. Hal yang harus diperhatikan dalam memberi tugas pada siswa adalah fungsi, sifat, dan bentuk tugas yang diberikan serta tingkat kemampuan siswa untuk melaksanakan tugas tersebut. Menurut Lis Budiarjo (2005) metode Pemberian Tugas adalah salah satu metode yang senantiasa membiasakan siswa untuk selalu giat melakukan tugas serta melatih siswa sehingga mereka dapat mencapai tujuan pembelajaran atau metode yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk melaksanakan tugas berdasarkan petunjuk langsung yang telah dipersiapkan guru. Tugas dapat diberikan secara kelompok atau perorangan. Hal yang harus diperhatikan dalam memberi tugas pada siswa adalah fungsi, sifat, dan bentuk tugas yang diberikan serta tingkat kemampuan siswa untuk melaksanakan tugas tersebut.
Metode pemberian tugas adalah merupakan suatu metode mengajar yang diterapkan dalam proses belajar mengajar, yang biasa disebut dengan metode pemberian tugas. Biasanya guru memberikan tugas itu sebagai pekerjaan rumah. Akan tetapi sebenarnya ada perbedaan antara pekerjaan rumah dan pemberian tugas seperti halnya yang dikemukakan : Roestiyah dalam bukunya “Didaktik Metodik” yang mengatakan : “ Untuk pekerjaan rumah, guru menyuruh membaca dari buku dirumah, dua hari lagi memberikan pertanyaan dikelas. Tetapi dalam pemberian tugas guru menyuruh membaca. Juga juga menambah tugas (1),cari buku lain untuk membedakan(2), pelajari keadaan orangnya”(roestiyah, 1996 : 75 ). Dalam buku lainnya yang berjudul Startegi Belajar Mengajar hal.132, Roestiyah mengatakan teknik pemberian tugas memiliki tujuan agar siswa menghasilkan hasil belajar yang lebih mantap, karena siswa melaksanakan latihan-latihan selama melakukan tugas, sehingga pengalaman siswa dalam mempelajari sesuatu menjadi lebih terintegrasi.
8). Metode Sosiodrama
Metode Sosiodrama adalah cara mengajar yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan memainkan peranan tertentu seperti yang terdapat dalam kehidupan masyarakat (kehidupan sosial).
9). Metode Bercerita
Metode Bercerita adalah suatu cara mengajak siswa dengan bercerita.

10). Metode Bermain Peran
Metode Bermain Peran adalah suatu cara penguasaan bahan- bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa.

2.3. Hakikat Bermain Peran
2.3.1. Hakikat Bermain.
Dalam teori permainan dijelaskan bahwa bermain dan permainan adalah dua istilah yang selalu diangkapkan orang secara bersamaan. Dalam hal ini permainan merupakan kata yang bersifat umum sedangkan bermaian memiliki makna yang khusus. Menurut Hurlok (320: 1997) bahwa bermain (play) merupakan istilah yang digunakan secara bebas sehingga arti utamanya mungkin hilang. Arti yang paling tepat ialah setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya, tanpa mempertimbangkan hasil akhir.

2.3.2. Pengertian Permainan
Permainan merupakan alat bagi anak untuk menjelajahi dunianya, dari yang tidak dikenali sampai pada yang diketahui, dan dari yang tidak dapat diperbuatnya sampai mampu melakukannya. Bermain bagi anak memiliki nilai dan ciri yang penting dalam kemajuan perkembangan kehidupan sehari-hari. Pada permulaan setiap pengalaman bermain memiliki resiko. Ada resiko bagi anak untuk belajar misalnya naik sepeda sendiri, belajar meloncat. Unsur lain adalah pengulangan. Anak mengkonsolidasikan ketrampilannya yang harus diwujudkannya dalam berbagai permainan dengan nuansa yang berbeda. Dengan cara ini anak memperoleh pengalaman tambahan untuk melakukan aktivitas lain. Melalui permainan anak dapat menyatakan kebutuhannya tanpa dihukum atau terkena teguran misalnya bermain boneka diumpamakan sebagai adik yang sesungguhnya.
Berkaitan dengan permainan memiliki sifat sebagai berikut: (1) Permainan dimotivasi secara personal, karena memberi rasa kepuasan. (2) pemain lebih asyik dengan aktivitas permainan (sifatnya spontan) ketimbang pada tujuannya. (3) Aktivitas permainan dapat bersifat nonliteral. (4) Permainan bersifat bebas dari aturan aturan yang dipaksakan dari luar, dan aturan-aturan yang ada dapat dimotivasi oleh para pemainnya. (5) Permainan memerlukan keterlibatan aktif dari pihak pemainnya.
Menurut Framberg (dalam Berky, 1995) permainan merupakan aktivitas yang bersifat simbolik, yang menghadirkan kembali realitas dalam bentukpengandaian misalnya, bagaimana jika, atau apakah jika yang penuh makna. Dalam hal ini permainan dapat menghubungkan pengalaman-pengalaman menyenangkan atau mengasyikkan, bahkan ketika siswa terlibat dalam permainan secara serius dan menegangkan sifat sukarela dan motivasi datang dari dalam diri siswa sendiri secara spontan. Permainan memiliki adanya seperangkat peraturan yang eksplisit yang mesti diindahkan oleh para pemain, dengan tujuan yang harus dicapai pemain atau tugas yang mesti dilaksanakan.



2.2.4. Pengertian Metode Bermain Peran
Bermain peran adalah pembelajaran dengan cara seolah- olah berada dalam situasi untuk memperoleh suatu pemahaman tentang suatu konsep (Zanikhan,2008./http;//zanikhan.multiply.com).
Bermain peran pada prinsipnya merupakan metode untuk menghadirkan peran- peran yang ada dalam dunia nyata ke dalam suatu pertunjukan peran di dalam kelas, yang kemudian dijadikan sebagai bahan refleksi agar peserta didik memberikan penilaian terhadap peran yang dilaksanakan.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulakan bahwa metode bermain peran adalah metode pembelajaran dengan menghadirkan peran- peran ke dalam dunia nyata dalam suatu pertunjukan sehingga menimbulkan pemahaman tentang apa yang diperankan.

2.2.5. Manfaat Bermain Peran dalam Pembelajaran.
Rofi’udin (1999: 42) berpendapat bahwa permainan memiliki beberapa manfaat, diantaranya adalah sebagai berikut:
a). Perkembangan Kognisi.
Dalam permainan simbolik dapat mendorong anak- anak untuk berfikir karma melalui permainan anak akan mencoba mencoba berbagai masalah dan menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapi. Permainan juga merupakan wahana bagi anak untuk berekspresi secara kreatif. Anak akan menciptakan peran yang dimainkannya dalam permainan drasmatisasi.
b). Perkembangan Sosial.
Permainan juga merupakan salah satu sarana untuk membantu perkembangan social. Melalui permainan akan tercipta interaksi. Dalam interaksi tersebut, anak- anak akan belajar bernegosiasi, memecahkan konflik, permasalahan, bertenggang rasa, berlatih kesabaran dalam menunggu giliran, berlatih bekerja sama, dan tolong menolong.
c). Perkembangan Emosi.
Permainan merupakan wahana untuk mengekspresikan perasaan/ pikiran dan sarana untuk mengatasi kekalutan pikiran/ perasaan mereka karma mereka tidak berada di dalam dunia nyata. Dalam permainan perasaan anak akan dapat dipahami dengan baik dan tercipta konteks yang aman untuk perkembangan emosi mereka.
d). Perkembangan Fisik.
Permainan merupakan wahana untuk mengembangkan fisik anak- anak. Melalui permainan, anak- anak berkesempatan untuk menguji system keseimbangan tubuhnya dalam permainan akrobatik, menguji kecepatan gerak, kelincahan dan ketangkasan mereka.

2.2.6. Model/ Asumsi Bermain Peran.
Menurut Dr. E. Mulyasa, M.Pd. (2004:141) terdapat empat asumsi yang mendasari pembelajaran bermain peran untuk mengembangkan perilaku dan nilai-nilai social, yang kedudukannya sejajar dengan model- model mengajar lainnya. Keempat asumsi tersebut sebagai berikut:
a). Secara implicit bermain peran mendukung sustau situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menitikberatkan isi pelajaran pada situasi ‘’di sini pada saat ini’’. Model ini percaya bahwa sekelompok peserta didik dimungkinkan untuk menciptakan analogy mengenai situasi kehidupan nyata. Tewrhadap analogy yang diwujudkan dalam bermain peran, para peserta didik dapat menampilkan respons emosional sambil belajar dari respons orang lain.
b). Kedua, bermain peran memungkinkan para peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya yang tidak dapat dikenal tanpa bercermin pada orang lain. Mengungkapkan perasaan untuk mengurangi beban emosional merupakan tujuan utama dari psikodrama (jenis bermain peran yang lebih menekankan pada penyembuhan). Namun demikian, terdapat perbedaan penekanan antara bermain peran dalam konteks pembelajaran dengan psikodrama. Bermain peran dalam konteks pembelajaran memandang bahwa diskusi setelah pemeranan dan pemeranan itu sendiri merupakan kegiatan utama dan integral dari pembelajaran; sedangkan dalam psikodrama, pemeranan dan keterlibatan emosional pengamat itulah yang paling utama. Perbedaan lainnya, dalam psikodrama bobot emosional lebih ditonjolkan daripada bobot intelektual, sedangkan pada bermain peran peran keduanya memegang peranan yang sangat penting dalam pembelajaran.
c). Model bermain peran berasumsi bahwa emosi dan ide- ide dapat diangkat ke taraf sadar untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Pemecahan tidak selalu datang dari orang tertentu, tetapi bisa saja muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah yang sedang diperankan. Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Oleh sebab itu, model mengajar ini berusaha mengurangi peran guru yang teralu mendominasi pembelajaran dalam pendekatan tradisional. Model bermain peran mendorong peserta didik untuk turut aktif dalam pemecahan masalah sambil menyimak secara seksama bagaimana orang lain berbicara mengenai masalah yang sedang dihadapi.
d). Model bermain peran berasumsi bahwa proses psikologis yang tersembunyi, berupa sikap, nilai, perasaan dan system keyakinan, dapat diangkat ke taraf sadar melalui kombinasi pemeranan secara spontan. Dengan demikian, para pserta didik dapat menguji sikap dan nilainya yang sesuai dengan orang lain, apakah sikap dan nilai yang dimilikinya perlu dipertahankan atau diubah. Tanpa bantuan orang lain, para peserta didik sulit untuk menilai sikap dan nilai yang dimilikinya.
Terdapat tiga hal yang menentukan kualitas dan keefektifan bermain peran sebagai model pembelajaran, yakni (1) kualitas pemeranan, (2) analisis dalam diskusi, (3) pandangan peserta didik terhadap peran yang ditampilkan dibandingkan dengan situasi kehidupan nyata. Menurut Shaftel (1967) mengemukakan sembilan tahap bermain peran yang dapat dijadikan pedoman dalam pembelajaran: (1) menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik, (2) memilih partisipan/peran, (3) menyusun tahap-tahap peran, (4) menyiapkan pengamat, (5) pemeranan, (6) diskusi dan evaluasi, (7) pemeranan ulang, (8) diskusi dan evaluasi tahap dua, (9) membagi pengalaman dan mengambil kesimpulan.
Kesembilan tahap tersebut dijelaskan sebagai berikut.
Menghangatkan suasana kelompok termasuk mengantarkan peserta didik terhadap masalah pembelajaran yang perlu dipelajari. Hal ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi masalah, menjelaskan masalah, menafsirkan cerita dan mengeksplorasi isu-isu, serta menjelaskan peran yang akan dimainkan. Masalah dapat diangkat dari kehidupan peserta didik, agar dapat merasakan masalah itu hadir dihadapan mereka, dan memiliki hasrat untuk mengetahui bagaimana masalah yang hangat dan actual, langsung menyangkut kehidupan peserta didik, menarik dan merangsang rasa ingin tahu peserta didik, serta memungkinkan berbagai alternative pemecahan. Tahap ini lebih banyak dimaksudkan untuk memotivasi peserta didik agar tertarik pada masalah karena itu tahap ini sangat penting dalam bermain peran dan paling menentukan keberhasilan. Bermain peran akan berhasil apabila peserta didik menaruh minat dan memperhatikan masalah yang diajukan guru.Memilih peran dalam pembelajaran, tahap ini peserta didik dan guru mendeskripsikan berbagai watak atau karakter, apa yang mereka suka, bagaimana mereka merasakan, dan apa yang harus mereka kerjakan, kemudian para peserta didik diberi kesempatan secara sukarela untuk menjadi pemeran. Jika para peserta didik tidak menyambut tawaran tersebut, guru dapat menunjuk salah seorang peserta didik yang pantas dan mampu memerankan posisi tertentu.
Menyusun tahap- tahap baru, pada tahap ini para pemeran menyusun garis-garis besar adegan yang akan dimainkan. Dalam hal ini, tidak perlu ada dialog khusus karena para peserta didik dituntut untuk bertindak dan berbicara secara spontan. Guru membantu peserta didik menyiapkan adegan-adegan dengan mengajukan pertanyaan, misalnya di mana pemeranan dilakukan, apakah tempat sudah dipersiapkan, dan sebagainya. Persiapan ini penting untuk menciptakan suasana yang menyenangkan bagi seluruh peserta didik, dan mereka siap untuk memainkannya.Menyiapkan pengamat, sebaiknya pengamat dipersiapkan secara matang dan terlibat dalam cerita yang akan dimainkan agar semua peserta didik turut mengalami dan menghayati peran yang dimainkan dan aktif mendiskusikannya. Menurut Sharfel dan Shaftel (1967), agar pengamat turut terlibat, mereka perlu diberi tugas. Misalnya menilai apakah peran yang dimainkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya? Bagaimana keefektifan perilaku yang ditunjukkan pemeran? Apakah pemeran dapat menghayati peran yang dimainkan? Tahap pemeranan, pada tahap ini para peserta didik mulai beraksi secara spontan, sesuai dengan peran masing-masing. Mereka berusaha memainkan setiap peran seperti benar-benar dialaminya. Mungkin proses bermain peran tidak berjalan mulus karena para peserta didik ragu dengan apa yang harus dikatakan akan ditunjukkan. Shaftel dan Shfatel (1967) mengemukakan bahwa pemeranan cukup dilakukan secara singkat, sesuai tingkat kesulitan dan kompleksitas masalah yang diperankan serta jumlah peserta didik yang dilibatkan, tak perlu memakan waktu yang terlalu lama. Pemeranan dapat berhenti apabila para peserta didik telah merasa cukup, dan apa yang seharusnya mereka perankan telah dicoba lakukan. Adakalanya para peserta didik keasyikan bermain peran sehingga tanpa disadari telah mamakan waktu yang terlampau lama. Dalam hal ini guru perlu menilai kapan bermain peran dihentikan. Sebaliknya pemeranan dihentikan pada saat terjadinya pertentangan agar memancing permasalahan untuk didiskusikan. Diskusi dan evaluasi pembelajaran, diskusi akan mudah dimulai jika pemeran dan pengamat telah terlibat dalam bermain peran, baik secara emosional maupun secara intelektual. Dengan melontarkan sebuah pertanyaan, para peserta didik akan segera terpancing untuk diskusi. Diskusi mungkin dimulai dengan tafsirkan mengenai baik tidaknya peran yang dimainkan selanjutnya mengarah pada analisis terhadap peran yang ditampilkan, apakah cukup tepat untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi.
Pemeranan ulang, dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dan diskusi mengenai alternative pemeranan. Mungkin ada perubahan peran watak yang dituntut. Perubahan ini memungkinkan adanya perkembangan baru dalam upaya pemecahan masalaSetiap perubahan peran akan mempengaruhi peran lainnya. Diskusi dan evaluasi tahap dua, diskusi dan evaluasi pada tahap ini sama seperti pada tahap enam, hanya dimaksudkan untuk menganalisis hasil pemeranan ulang, dan pemecahan masalah pada tahap ini mungkin sudah lebih jelas. Para peserta didik menyetujui cara tertentu untuk memecahkan masalah, meskipun dimungkinkan adanya peserta didik yang belum menyetujuinya. Kesepakatan bulat tidak perlu dicapai karena tidak ada cara yang pasti dalam menghadapi masalah kehidupan. Membagi pengalaman dan pengambilan kesimpulan, tahap ini tidak harus menghasilkan generalisasi secara langsung karena tujuan utama bermain peran ialah membantu para peserta didik untuk memperoleh pengalaman berharga dalam hidupnya melalui kegiatan interaksional dengan temannya. Mareka bercermin pada orang lain untuk lebih memahami dirinya. Hal ini mengandung implikasi bahwa yang paling penting dalam bermain peran ialah terjadinya saling tukar pengalaman. Proses ini mewarnai seluruh kegiatan bermain peran, yang ditegaskan lagi pada tahap akhir. Pada tahap ini para peserta didik saling mengemukakan pengalaman hidupnya dalam berhadapan dengan orang tua, guru, teman dan sebagainya. Semua pengalaman peserta didik dapat diungkap atau muncul secara spontan.

2.3. Meningkatkan Pemahaman Siswa Dalam Materi Mengenal Identitas Diri Melalui Metode Bermain Peran Di Kelas I SD Inpres Duhiadaa Kecamatan Duhiadaa Kabupaten Pohuwato

Bermain peran merupakan perminan untuk memperoleh kesenangan dan untuk melatih cara berfikir anak. Apabila suatu permainan menimbulkan kesenangan tetapi tidak memperoleh kesenangan tertentu, maka permainan tersebut bukan permainan anak. Sebaliknya, apabila suatu kegiatan melatih ketrampilan anak, tetapi tidak ada unsur kesenangan maka bukan disebut permainan. Dapat disebut permainan, apabila suatu aktivitas tersebut mengandung kedua unsur kesenangan dan melatih ketrampilan anak dalam berfikir.
Setiap permainan yang dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran harus secara langsung dapat menunjang tercapainya tujuan pembelajaran. Anak-anak pada usia 6 – 8 tahun masih memerlukan dunia permainan untuk membantu menumbuhkan pemahaman terhadap diri mereka. Pada usia tersebut, anak-anak mudah merasa jenuh belajar di kelas apabila dijauhkan dari dunianya yaitu dunia bermain. Permainan hampir tak terpisahkan dengan kehidupan manusia. Baik bayi, anak-anak, remaja, orang dewasa semua membutuhkan permainan. Tentunya dengan jenis dan sifat permainan yang berbeda-beda sesuai dengan jenis kelamin, bakat dan minat masing-masing.
Tujuan utama permainan bukan semata-mata untuk memperoleh kesenangan, tetapi untuk belajar ketrampilan anak. Aktivitas permainan digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan pembelajaran dengan cara yang menyenangkan. Interaksi antara permainan dengan pembelajaran akan memberikan pengalaman belajar yang sangat penting bagi anak-anak. Menang dan kalah bukan merupakan tujuan utama permainan. Dalam setiap permainan terdapat unsur rintangan atau tantangan yang harus dihadapi. Tantangan tersebut kadang-kadang berupa masalah yang harus diselesaikan atau diatasi, kadang pula berupa kompetisi. Masalah yang harus diselesaikan itulah yang dapat melatih ketrampilan berbahasa. Alat permainan baik realistik maupun imajinatif, buatan pabrik maupun alamiah memiliki peranan yang cukup besar dalam membantu merangsang anak dalam menggunakan bahasa. Keberadaan alat- alat permainan dapat memantu dan meningkatkan daya imajinasi anak.
Belajar konstrultivisme mengisyaratkan bahwa guru tidak memompakan pengetahuan ke dalam kepala pebelajar, melainkan pengetahuan diperoleh melalui suatu dialog yang ditandai oleh suasana belajar yang bercirikan pengalaman dua sisi. Ini berarti bahwa penekanan bukan pada kuantitas materi, melainkan pada upaya agar siswa mampu menggunakan otaknya secara efektif dan efisien sehingga tidak ditandai oleh segi kognitif belaka, melainkan oleh keterlibatan emosi dan kemampuan kreatif. Dengan demikian proses belajar perlu disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan siswa (Semiawan, 2002:5).
Mengenal identitas diri melalui metode bermain peran akan sangat menyenagkan jika siswa dengan aktif dilibatkan dan dituntut untuk memberikan tanggapan dan keputusan. Dalam memainkan suatu permainan, siswa dapat melihat sejumlah kata berkali-kali, namun tidak dengan cara yang membosankan. Guru perlu banyak memberikan sanjungan dan semangat. Hindari kesan bahwa siswa melakukan kegagalan. Jika permainan sukar dilakukan oleh siswa, maka guru perlu membantu agar siswa merasa senang dan berhasil dalam belajar.
Dalam pembelajaran guru dan peserta didik sering dihadapkan pada berbagai masalah, baik yang berkaitan dengan mata pelajaran maupun yang menyangkut hubungan sosial. Pemecahan masalah pembelajaran dapat dilakukan melalui berbagai cara, melalui diskusi kelas, Tanya jawab antara guru dan peserta didik, penemuan dan inkuiri. Guru yang kreatif senantiasa mencari pendekatan baru dalam memecahkan masalah, tidak terpaku pada cara tertentu yang monoton, melainkan memilih variasi lain yang sesuai. Bermain peran merupakan salah satu alternative yang dapat ditempuh. Hasil penelitian dan percobaan yang dilakukan oleh para ahli menunjukkan bahwa bermain peran merupakan salah satu model yang dapat digunakan secara efektif dalam pembelajaran. Dalam hal ini, bermain peran diarahkan pada pemecahan masalah yang menyangkut hubungan antar manusia, terutama yang menyangkut kehidupan peserta didik.
Manusia merupakan makhluk sosial dan individual, yang dalam hidupnya senantiasa berhadapan dengan manusia lain atau situasi di sekelilingnya. Mereka berinteraksi, berinterdepedensi dan pengaruh mempengaruhi. Sebagai individu manusia memiliki pola yang unik dalam berhubungan dengan manusia lain. Ia memiliki rasa senang, tidak senang, percaya, curiga, dan ragu terhadap orang lain. Namun perasaan tersebut diarahkan juga pada dirinya. Perasaan dan sikap terhadap orang lain dan dirinya itu mempengaruhi pola respon individu terhadap individu lain atau situasi di luar dirinya. Karena senang dan penasaran ia cenderung mendekat. Karena tidak senang dan curiga ia cenderung menjauh. Peran dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian perasaan, ucapan dan tindakan, sebagai suatu pola hubungan unik yang ditunjukkan oleh individu terhadap individu lain. Peran yang dimainkan individu dalam hidupnya dipengaruhi oleh persepsi individu terhadap dirinya dan terhadap orang lain. Oleh sebab itu, untuk dapat berperan dengan baik, diperlukan pemahaman terhadap peran pribadi dan orang lain. Pemahaman tersebut tidak terbatas pada tindakan, tetapi pada factor penentunya, yakni perasaan, persepsi dan sikap. Bermain peran berusaha membantu individu untuk memahami perannya sendiri dan peran yang dimainkan orang lain sambil mengerti perasaan, sikap dan nilai yang mendasarinya.Bermain peran dalam pembelajaran merupakan usaha untuk memecahkan masalah melalui peragaan, serta langkah- langkah identifikasi masalah, analisis, pemeranan, dan diskusi. Untuk kepentingan tersebut, sejumlah peserta didik bertindak sebagai pemeran dan yang lainnya sebagai pengamat. Seorang pemeran harus mampu menghayati peran yang dimainkannya. Melalui peran, peserta didik berinteraksi dengan orang lain yang juga membawakan peran tertentu sesuai dengan tema yang dipilih.
Selama pembelajaran berlangsung, setiap pemeranan dapat melatih sikap empati, simpati, rasa benci, marah, senang, dan peran lainnya. Pemeranan tenggelam dalam peran yang dimainkannya sedangkan pengamat melibatkan dirinya secara emosional dan berusaha mengidentifikasikan perasaan dengan perasaan yang tengah bergejolak dan menguasai pemeranan.
Pada pembelajaran bermain peran, pemeranan tidak dilakukan secara tuntas sampai masalah dapat dipecahkan. Hal ini dimaksudkan untuk mengundang rasa kepenasaran peserta didik yang menjadi pengamat agar turut aktif mendiskusikan dan mencari jalan ke luar. Dengan demikian, diskusi setelah bermain peran akan berlangsung hidup dan menggairahkan peserta didik.

2.4. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan landasan teoretis dan kerangka berpikir yang ada, hipotesis tindakan pada penelitian ini adalah jika pada pembelajaran dilakukan metode bermain peran maka pemahaman siswa dalam materi mengenal identitas diri melalui metode bermain peran di kelas I SD Inpres Bulila Kecamatan Duhiadaa Kabupaten Pohuwato dapat meningkat.

2.5. Indikator Kinerja
Yang menjadi indikator kinerja dalam penelitian ini adalah jika dari 40 orang siswa yang memperoleh nilai dibawah 70 dalam aspek- aspek pemahaman khususnya pada materi mengenal identitas diri 40 orang siswa yang memperoleh nilai dibawah 70 dalam aspek- aspek pemahaman kelasnya pada materi mengenal identitas diri maka melalui metode bermain peran akan terjadi peningkatan minimal 75% memperoleh nilai di atas 75 dari hasil observasi awal

BAB III
METODE PENELITIAN


3.1 Setting Penelitian dan Karakteristik Subyek Penelitian
3.1.1 Setting Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini di laksanakan di kelas I SD Inpres Duhiadaa Kecamatan Duhiadaa Kabupaten Pohuwato.

3.1.2 Karakteristik Subyek Penelitian
Yang menjadi subyek penelitian tindakan kelas ini adalah siswa kelas I berjumlah 24 yang terdiri dari 13 siswa laki-laki dan 11 siswa perempuan dengan kemampuan belajar yang bervariasi dan latar belakang ekonomi yang beragam pula.

3.2 Desain tindakan
Kurt Lewin ( dalam Kunandar:2008, 42-45) menyatakan bahwa penelitian tindakan kelas adalah suatu rangkaian langkah yang terdiri atas empat tahap, yakni perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Adapun model dan penjelasan untuk masing-masing tahap adalah sebagai berikut, Tahap 1): menyusun rancangan tindakan ( planning) Dalam tahap ini peneliti menjelaskan tentang apa, mengapa, kapan, di mana, oleh siapa, dan bagaimana tindakan tersebut dilakukan, Tahap 2): Pelaksanaan tindakan (Acting) tahap ke-2 dari penelitian tindakan adalah pelaksanaan yang merupakan implementasi atau penerapan isi rangcangan, yaitu tindakan dalam kelas. Hal yang perlu diingat adalah pelaksana berusaha menaati apa yang telah dirumuskan dalam rangcangan.
Dalam refleksi, keterkaitan antara pelaksanaan dengan perencanaan perlu diperhatikan secara seksama agar sinkron dengan maksud semula, Tahap3) : Pengamatan (observing) Dalam tahap ke- 3 ini kegiatan pengamatan yang dilakukan sebetulnya sedikit kurang tepat kalau pengamatan dipisahkan dengan pelaksanaan tindakan . Tahap ke-3 ini memberikan peluang bagi guru pelaksana juga berstatus sebagai pengamat untuk mencatat apa yang terjadi agar memperoleh data yang akurat untuk perbaikan siklus berikutnya, Tahap 4): Refleksi (reflecting) tahap ke-4 ini merupakan kegiatan untuk mengemukakan kembali apa yang sudah dilakukan dan mengimplementasikan rancangan kegiatan. Agar tahapan penelitian tindakan yang dimaksudkan dapat diketahui dengan jelas, dapat diperhatikan rangkaian siklus pada gambar di bawah ini

Gambar 1. Siklus Action Research model Stephen Kemmis dan Mc.Taggart
3.3 Tahapan- Tahapan Penelitian
3.3.1. Tahap Persiapan
Dalam rangka penelitian ini peneliti melakukan persiapan–persiapan berikut sebagai tahap awal kegiatan yaitu :
a. Menghubungi kepala sekolah guna memperoleh izin dan restu untuk melaksanakan kegiatan penelitian ini, sekaligus berkonsultasi tentang guru yang akan menjadi mitra kerja, dalam hal ini membantu peneliti dalam mengadakan penelitian.
b. Mendiskusikan rencana kegiatan yang akan dilakukan bersama kepala sekolah dan mitra kerja.
c. Melakukan observasi awal terhadap subyek penelitian dalam rangka mengidentifikasi masalah.
d. Mengadakan analisis pokok permasalahan yang menjadi subyek penelitian.
e. Menganalisis dan menentukan faktor–faktor yang diduga sebagai penyebab utama masalah.
f. Pengkajian masalah sekaligus pembuatan alat observasi dan evaluasi, serta mendesain skenario pembelajaran sesuai dengan teknik pemecahan masalah yang telah ditetapkan, serta menetapkan waktu pelaksanaan tindakan.
g. Menetapkan waktu pelaksanaan tindakan.

3.3.2. Tahap Pelaksanaan Tindakan
Kegiatan yang dilaksanakan dalam tahap ini adalah melaksanakan skenario pembelajaran yang direncanakan. Dan kegiatan ini dilaksanakan dalam 2 siklus, yakni dalam setiap siklus 2 kali pertemuan. Untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut :



a. Siklus I
Pada Siklus ini, kegiatan yang dilakukan adalah melihat kemampuan siswa dalam pemahaman mengenalkan diri dengan tepat dmenggunakan penerapan metode bermain peran..
 Pada kegiatan pendahuluan penyajian materi, melaksanakan KBM yang sesuai dengan tindakan yang telah ditetapkan.
 Memantau pelaksanaan tindakan.
 Mengevaluasi pelaksanaan tindakan.
 Mengadakan refleksi awal. Apabila hasilnya kurang dari apa yang diharapkan maka akan dilanjutkan pada siklus berikutnya.

2. Siklus II
Dalam pelaksanaan siklus ke II, penerapan tindakan dan pengamatan dikhususkan pada siswa yang belum mencapai hasil atau perubahan yang diharapkan.
 Merumuskan pelaksanaan tindakan.
 Melaksanakan pelaksanaan tindakan.
 Mengevaluasi pelaksanaan tindakan.
 Mengadakan refleksi lanjutan. Apabila hasilnya kurang dari apa yang diharapkan maka akan dilanjutkan pada siklus berikutnya.



3.3.3. Tahap Pemantauan dan Evaluasi
Pemantauan dan evaluasi berlangsung dalam setiap siklus yang dilaksanakan. Hasil pemantauan dan evaluasi dibahas dalam tahap analisis dan refleksi. Adapun yang menjadi pedoman dalam melaksanakan pemantauan dan evaluasi adalah:
1. Semua aspek yang menjadi indikator dari pemahaman siswa dalam pengenalan diri melalui metode bermain peran.
2. Alat pengumpul data yang disiapkan, yaitu:
a. Lembar observasi kegiatan pembelajaran
b. Lembar observasi aktivitas siswa selama proses belajar mengajar.
c. Lembar keberhasilan siswa berupa tes tertulis pada akhir pembelajaran.

3.3.4. Tahap Analisis dan Refleksi
Pada tahap ini merupakan bagian yang terpenting, semua data yang diperoleh dari hasil pemantauan dan evaluasi akan dianalisis baik secara kuantitatif maupun kualitataif dan hasilnya digunakan untuk merefleksi diri. Dalam hal ini akan diketahui kelemahan yang atgau kekurangan terjadi pada proses yang berlangsung kemudian ditindak lanjuti pada kegiatan berikutnya serta sebagai bahan untuk penyususnan laporan penelitian.




DAFTAR PUSTAKA

Alkhadiah Sabarti, dkk. 1991. Faktor Yang Mempengarui Cara Belajar. Jakarta: Bina Aksara.

Anonim. 1995. Pedoman Proses Belajar Menagajar di SD. Jakarta : Proyek Pembinaan Sekolah Dasar. Depdikbud

Aminudin, 1994. Buku Motivasi Belajar. Rajawali Pers 1986.

Badudu dan Hidayat. 1993. Metodologi Pengajaran Bahasa Indonesia di SD. Jakarta PT. Rosda Jaya.

Dworeky, 1990. Pembelajaran Melakukan Permainan di SD http/images

Kurt Lewin dan Kunandar. 2008,. Faktor Yang Mempengaruhi Kesulitan Belajar. (http/www.geogle.com/kesulitan.dalam.belajar/blogspot/php?)

Lis Budiarjo, Mulyani, dkk. 2000- 2005. Metode Pembelajaran. (http/www.geogle.com/metode-pembelajaran/blogspot/php?)

Mulyasa, E. 2004. Implementasi Kurikulum 2004 : Panduan Pembelajaran KBK. Bandung : Remaja Rosdakarya

Rofi’uddin dan Machfudz, Imam. 2000. Metode pengajaran Kominikatif. Jurnal Bahasa dan Sastra UM Malang : Universitas Negeri Malang.
.
Roestiyah dalam bukunya,1997 “Didaktik Metodik” Bandung.Tarsito

Simanjuntak, 1995. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Tarsito.

Ulit, 2008. Cara Belajar Efektif, (http/www.geogle.com./belajar-efektif/php)

Website.http/www.geogle/ dunia guru com/index-php/20 Mey 2009

Wiriaatmadja, Rochiati. 2005. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung

Zanikhan,2008./http;//zanikhan.multiply.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar